
Note: Chapter 4. Lanjutan dari cerita Nisa – Juna
Baca dulu –>Chapter 1. IT’S (NOT) REALLY OVER
Baca juga –> Chapter 2. (TAK BISA) MELEPAS KAU, SENJA
Baca juga –> Chapter 3. ANYONE OF US (STUPID MISTAKE)
————————————————————————————————————————–
Selesai urusan administrasi di loket kasir, Nisa kembali menghampiri lelaki dari masa lalunya itu yang masih setia duduk di tempatnya tadi, sambil memainkan ponsel di tangannya.
“Aku udah selesai.” Ujarnya setelah sampai di hadapan Juna. “Jadi mau ke mana kita?” Lanjutnya canggung saat mengucap kata ‘kita’.
Berbeda dengan Nisa yang terlihat canggung, Juna justru merasa ada kupu-kupu yang menggelitik rongga perutnya kala mendengar gadis dari masa lalunya membahasakan ‘kita’ untuk dia dan gadis itu. Lengkung sabit semakin lebar menghiasi wajah tampannya, bahkan matanya pun sampai tertutup kala ia tersenyum seperti itu.
“Yee… ditanya malah mesem-mesem dia.” Ujar Nisa ketus melihat Juna yang tak juga beranjak dari duduknya.
“Sorry…” Ujarnya seraya bangkit. “Aku ikut aja kamu mau ke mana. Aku anterin” lanjutnya lagi setelah berdiri tegap.
Hal yang membuat Nisa hilang keseimbangan karena posisi mereka yang berhadapan dan terlalu dekat setelah Juna bangkit. Iya, hampir jatuh jika Juna tak langsung meraih pinggangnya.
“Are you okay, Nis?” tanya Juna lirih, namun memberi efek tak biasa di indra pendengaran Nisa. Seketika dirasakan wajahnya memanas.
Tak butuh waktu lama bagi Nisa untuk tersadar akan posisi mereka berada saat ini. Gegas ia melepaskan rengkuhan lengan Juna di pinggangnya dan mengatur posisi berdirinya lagi.
“I’m okay” jawabnya. “Yuk, langsung berangkat” ujarnya canggung sambil melangkah ke sembarang arah. Yang kemudian tangannya ditarik oleh Juna.
“Mobilku di parkirnya di sebelah sana, Nis” ujar Juna sambil menunjuk arah belakang, yang membuat Nisa langsung memutar langkahnya ke arah yang Juna tunjuk tadi sambil menunduk merasakan wajahnya yang menghangat.
***
“So, where do we go now?” tanya Juna saat mobil yang ia tumpangi itu keluar dari pelataran rumah sakit.
“Rumahku aja, boleh?” jawab Nisa lirih, hampir tidak terdengar Juna. Lelaki itu sekilas menoleh kearah gadis berhijab yang duduk di kursi penumpang di sampingnya.
“Are you sure?” tanya lelaki berkacamata itu yang kembali fokus pada kemudi dan jalanan di depannya.
“Sure, lah” jawab Nisa cepat. Yang menciptakan lengkungan sabit di wajah Juna. “Apa, sih kamu malah mesem-mesem gitu. Gak usah kumal ya otaknya. Lagian biasanya jam segini Kak Mitha udah di rumah juga. Jadi kita gak akan berdua aja di rumah, you know.” lanjut Nisa cepat, seakan tahu makna cengiran lelaki di sampingnya itu.
“Ya ampun, Nis. Masih aja sih, suudzon sama aku. Haha.”Juna terbahak mendengar reaksi gadis dari masa lalunya tersebut. “Lagian mana berani aku macem macem sama kamu, yang ada dihajar bang Dyon, ntar.”
Nisa hanya mendelik, namun beberapa detik kemudian tatapannya melembut. Memperhatikan dengan seksama pahatan indah di hadapannya yang sudah lama tidak tertangkap netranya.
“Liatin akunya biasa aja dong, Nis” ujar Juna masi dengan lengkungan sabit di wajahnya yang membuat pipinya berlubang kecil.
Nisa menjadi kikuk karena kepergok sedang menatap Juna tanpa kedip.
“Eng, boleh nyalain radio, kah?” gadis berhijab itu berusaha mengalihkan kecanggungannya. Yang tanpa menunggu respon Juna tangannya langsung menekan tombol on pada radio yang terletak di tengah-tengah dashboard mobil tersebut.
Kata orang rindu itu indah
Namun bagiku ini menyiksa
Sejenak kufikirkan
Untuk ku benci saja dirimu
Namun, sulitku membenci
Suara halus Melly Goeslaw mengalun memenuhi ruangan yang hening tersebut.
Nisa kembali menyandarkan kepalanya, netranya menatap ke luar jendela.
Pejamkan mata bila
Ku ingin bernafas lega
Dalam anganku, aku berada di satu persimpangan
Jalan yang sulit kupilih
“Btw, kamu mau bahas apa emang sebenernya sama aku? Yang tadi kamu bilang about us?” tanya Nisa mengalihkan topik. Diliriknya lelaki berkacamata di sampingnya itu.
Juna menghentikan laju mobilnya karena lampu lalu lintas di depan berubah menjadi merah. Ditolehkan kepalanya menghadap gadisnya tersebut, kemudian tersenyum seraya berkata “Ceritanya agak panjang, Nis. Kita bahasnya pas udah sampe rumah kamu aja, ya?”
Seketika Nisa beku, seakan terhipnotis dengan tatapan juga suara lembut lelaki dari masa lalunya. Hening yang kemudian tercipta di antara keduanya.
Kupeluk semua indah hidupku
Hikmah yang kurasa sangat tulus
Ada dan tiada cinta
Bagiku, tak mengapa
Namun ada yang hilang, separuh diriku
“Napas, nis” ujar Juna yang kembali melajukan city carnya ketika lampu lalu lintas kembali berwarna hijau.
Nisa hanya melengos, ia alihkan atensinya kembali pada sisi kirinya yang padat dengan kendaraan yang berlalu lalang. Dirasakan wajahnya memanas saat ini. Entah apa yang ada di pikirannya hingga bisa bisanya dua kali dia membeku karena seorang Arjuna Mahardika.
Lelaki yang saat ini berada dalam satu kabin dengannya, yang ternyata masih berhasil memporak porandakan hatinya.
“What’s wrong with you, Faranisaaa” runtuk batinnya sambil dia ketuk ketuk kepalanya dengan tangan kanannya.
“Are you okay, Nis?” tanya Juna ketika melihat Nisa yang memukul kepalanya sendiri. “Sakit lagi kepalanya? Ini kayaknya sebentar lagi sampe rumah kamu, deh.” Lanjutnya sedikit panik karena gadis berhijab hijau mint itu tak merespon.
“Nis…” Juna melirik sejenak “Muka kamu kenapa merah gitu, hey? Kamu demam?” seketika tangan kirinya ia arahkan ke dahi Nisa, yang kemudian ditepis oleh gadis itu.
“I’m okay, Jun” sahut Nisa lirih. Masih berusaha menetralkan pikiran dan hatinya.
“Ternyata kamu masih inget, ya arah ke rumahku.” Ujar Nisa ketika menyadari city car tersebut sudah memasuki area perumahannya.
“Semua tentang kamu, gak ada yang aku lupain kok, Nis”. Jawab Juna santai, namun lagi lagi berhasil mengacaukan Nisa.
“Eh, Jun. Kayaknya kamu parkir di sana aja, deh. Gapapa, kan? Sahut Nisa sambil menunjuk area kosong tak jauh dari rumahnya.
“Kak Mitha udah pulang, berarti.” Lirih gadis berhijab itu. Karena ternyata sudah ada mobil lain yang terparkir di depan rumahnya. Mobil yang sudah sangat ia kenal, namun bukan milik kakaknya.
“Nis, itu mobilnya…”
“Iya, kayaknya lagi ada bang Edo di rumah.” sahut Nisa cepat. Lelaki berkacamata itu hanya mengangguk tanda mengerti.
Mereka pun keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumah dalam diam. Gadis berhijab hijau mint itu berjalan mendahului Juna yang mengekor di belakangnya.
“Loh, Ar. Kok ada di sini” sahut suara lelaki dari dalam rumah yang keluar ketika mendengar Nisa membuka pintu sambil memberi salam dan melihat Juna berdiri di belakang Nisa.
Juna hanya tersenyum tanpa menjawab.
“Bang Edo udah lama?” Nisa yang bertanya sambil melesak masuk ke ruang tamu.
“Eh, baru sampe juga, kok.” Atensi lelaki itu kembali ke Nisa. “Kok kalian bisa bareng?” tanya Edo masih penasaran. Yang ditanya masih bungkam, tak menjawab.
“Ar…” Kali ini Edo meminta penjelasan dari Juna.
“Loh, kamu Juna, kan?” sosok perempuan yang baru keluar dari dalam kamar menunjuk Juna agak kaget.
Pejamkan mata bila
Kuingin bernapas lega
Dalam anganku, aku berada
Di satu persimpangan
Jalan yang sulit kupilih.
***
“Jadi, Nisa ini cewek yang lo tinggalin pas SMA dulu, Ar?” Ujar lelaki berbaju hitam di hadapan Juna.
Mereka kini sedang berada di ruang tamu rumah Nisa. Iya, mereka berempat duduk bareng. Dan kini Arjuna sedang diinterogasi oleh kakak sepupunya itu.
“Terpaksa ninggalin, ya.” Sahut Juna cepat. “Kan lo juga tau ceritanya, bang.” lanjutnya lagi yang mengundang tatapan heran dari kedua perempuan yang ada di situ seakan minta penjelasan dari kalimat yang Juna ucapkan barusan.
“Bentar, deh.” Mitha bersuara. “Jadi Juna ini sepupu kamu, yang dokter spesialis yang kamu rujuk untuk Nisa itu, yang?” tanya gadis itu pada Edo yang dibalas anggukan.
“Dan Juna adalah mantan kamu pas SMA yang kamu selingkuhin itu tapi juga bikin kamu gagal move on itu, dek?” giliran Nisa yang ditanya.
“Kak Mithaaaa….” Nisa mendelik pada satu satunya kakak yang ia punya itu, karena dengan santainya menjabarkan aib masa lalunya, di depan Juna pula.
“Loh, bener kan?” tanya Mitha mempertegas. Yang ditanya hanya merespon dengan hembusan napas yang terdengar agak berat.
Kali ini giliran Juna yang menatap Nisa seakan minta penjelasan dari definisi selingkuh yang terucap oleh Mitha tadi.
“Kamu pernah selingkuh dari aku, Nis?” pertanyaan yang justru membuat Nisa bingung.
“Loh, aku kira kamu dulu menghilang gitu aja ninggalin aku tanpa kabar karena marah tau aku selingkuh.” ujar Nisa lirih di akhir kalimat. Hal yang baru dia sadari bahwa ada yang salah dari ucapannya.
Sekejap hening menyapa di antara mereka. Hingga…
“Wow…” suara berat Edo memecah keheningan di ruang tamu tersebut. “Jadi selama in sepertinya ada kesalah pahaman di antara kalian, ya” ujar lelaki berparas asia tersebut mencoba mengambil kesimpulan.
“Sepertinya begitu, yang” Mitha menimpali ucapan tunangannya tersebut. Melihat gelagat adiknya yang masih terdiam. Masih mencerna yang barusan terjadi sepertinya.
Pun dengan Arjuna yang juga terdiam, sibuk dengan pikirannya sendiri.
Atmosfer di ruangan bernuansa krem tersebut berubah menjadi canggung.
“Kalian selesaikan, deh kesalahpahaman kalian yang sudah menahun itu.” Ujar Mitha akhirnya. “Tapi nanti. Setelah kita bahas hal yang lebih penting.” ucapan Mitha menyedot atensi semua orang yang ada di situ.
“Bolehkan kakak tau kondisi kesehatan kamu sekarang, Nis?” Mitha menatap adiknya dan Juna bergantian
***
Nisa meletakkan nampan berisi snack dan juga minuman dingin di meja kayu di hadapannya.
Setelah sesi interogasi yang dilakukan Kakak dan calon kakak iparnya di ruang tamu tadi, Juna yang lebih banyak menjawab perihal kondisi kesehatan Nisa, tentu. Kini mereka, Nisa dan lelaki masa lalunya tersebut memisahkan diri sejenak di teras samping rumah Nisa.
Banyak hal yang harus mereka bahas, memang. Hal yang ternyata adalah sebuah kesalahpahaman, menurut bang Edo tadi.
“Jadi, dulu kamu pernah selingkuh dari aku, Nis?” lelaki berkacamata tersebut mengulang pertanyaannya lagi. Namun pandangannya tetap lurus. Menatap taman bunga Mawar yang rimbun di sana.
“Something like that, lah” jawab Nisa lirih. Yang mengundang lirikan tajam dari lelaki di sampingnya itu.
Nisa menghembuskan napasnya dengan berat.
“Kamu inget Dana, sahabat aku pas sekolah dulu?” Nisa menundukkan kepalanya, memperhatikan kedua kakinya yang berayun di bawah sana.
“Kamu selingkuh sama dia? Sejak kapan?” Juna semakin mendelik mendengar nama Lelaki yang selalu dianggap rivalnya dulu. Ya, Juna bukan tipe orang yang percaya bahwa laki laki dan perempuan bisa bersahabat tanpa jatuh cinta.
“Gak gitu…” ujar Nisa lirih,nyaris tak terdengar. “I felt like I’m cheating on you” lanjutnya lagi sambil mengalihkan pandangannya pada rimbunan mawar putih di hadapannya.
Ternyata tidak semudah itu membuka lagi bagasi masa lalu yang sudah sangat lama ia pendam, di tumpukan terdalam ruang batinnya.
Hembusan napas berat terdengar lagi.
*flashback on*
“Boleh ya, Nis. Sekali aja. Sebentar aja.” Dana sedikit memaksa.
Ditatapnya lelat lelaki bermata sayu di hadapannya tersebut. Entah apa yang ada di pikiran Nisa saat itu, sehingga akhirnya ia menyetujui gagasan aneh sahabat sejak SMPnya itu.
“Oke. Sekali aja tapi ya, Dan. Sebentar aja.” Tegasnya lagi. Yang dibalas senyuman aneh oleh Dana.
Semudah itu Nisa luluh akan rayuan Dana, satu satunya sahabat lelaki Nisa yang juga selalu dianggap rival oleh kekasihnya, Juna.
Gegas Dana mempersempit jarak di antara keduanya. Hingga aroma mint terhidu dalam indera penciuman Nisa. Tak lama dua pasang material kenyal itu saling beradu.
satu detik…
dua detik…
tiga detik…
*Flashback off*
“Oke cukup.” suara berat Juna menginterupsi. Mengembalikan Nisa ke masa kini.
Masih di halaman belakang rumah yang terdapat tanaman Mawar kesayangan sang Mama. Atmosfer yang dirasa agak beda kini.
“Jadi intinya, kamu akhirnya ciuman sama si Dana Dana itu.”lagi, suara berat Juna yang dibuat setenang mungkin.
Namun tetap tertangkap netra Nisa akan rahang yang mengeras di tekstur wajah Asia lelaki di sampingnya. Pun tangan yang mengepal di kedua sisi kursi yang lelaki itu tempati. Ada emosi yang ingin tumpah ruah, namun ditahan oleh gerangan. Yang kini beralih menatap Nisa seakan menuntut jawaban akan pertanyaan barusan.
“Sorry” lirih terucap.
Juna menghela napasnya dengan berat.
“Yaudah lah, ya. Toh udah lampau juga” ujarnya kemudian.
“Iya. It’s just a past” imbuh Nisa. Bagasi masa lalu yang seharusnya tetap tersimpan rapat di sudut terdalam ruang batinnya.
Hening kembali menghampiri dua sejoli yang kini sibuk dengan pikirannya masing masing. Hingga…
“Nis…”
“By the way, Jun.”
Keduanya saling tatap.
“You, first” Juna mempersilahkan Nisa untuk bicara terlebih dahulu.
“By the way, Jun..” ulang gadis itu, “karena ternyata kamu baru tahu, tentang yang tadi..” terjeda lagi ucapannya. “So, apa alasan kamu menghilang tiba tiba, tanpa kabar?” ditatapnya lelaki berkacamata tersebut. Mencari jawaban di netra berbentuk Almond tersebut.
“It’s a long story, Nis.”
“Yaa cerita aja.” sahut Nisa. “Aku siap dengerin, kok” lanjutnya lagi.
“Ja–“
“Guys, dinner dulu. Nostalgianya lanjut nanti lagi.”
Baru saja Juna akan memulai ceritanya, namun terinterupsi olah panggilan dari Kakak sepupunya tersebut.
“Shall we?” gadis berhijab tersebut melirik Juna sekilas kemudian menolehkan kepalanya ke arah bagian dalam rumah.
Yang dilirik hanya menaikkan kedua bahunya dengan kedua tangannya mengarah ke depan, mempersilahkan Nisa untuk melangkah masuk terlebih dahulu.
Juna mengekori Nisa dari belakang dengan langkah gontai.
“Belum saatnya, huh” sangat lirih terucap.
Sepertinya memang belum waktunya bagi lelaki berparas asia tersebut untuk menggali kembali kisah masa lalunya untuk ia ceritakan pada Nisa. Alasan kepergiannya secara tiba tiba enam belas tahun yang lalu.
***
Leave a Reply