
NOTE: Chapter 3. Lanjutan dari cerita Nisa – Juna
Baca dulu –> CHAPTER 1. IT’S (NOT) REALLY OVER
Baca juga –> CHAPTER 2. (TAK BISA) MELEPAS KAU, SENJA
——————————————————————————————————————–
Aroma klorin menyapa indra penciuman Nisa ketika pintu kaca di hadapannya terbuka. Segera Nisa melangkahkan kedua kakinya menuju loket pendaftaran yang berada tak jauh dari tempatnya masuk tadi. Setelah mendaftarkan dirinya dan mendapatkan nomer antri pasien, Nisa beranjak ke lantai 2, di mana ruangan dokter praktek yang akan ia temui berada.
“Untung belom telat” ujarnya bermonolog saat melihat arloji yang melingkar di pergelangan tangan kanannya.
Nisa yang pagi tadi sempat tertidur lagi, karena merasakan kembali sakit di kepalanya saat menerima telepon dari lelaki di masa lalunya itu, akhirnya terbangun karena pintu kamarnya diketuk oleh sang Kakak. Dan di sini lah ia sekarang. Duduk di kursi ruang tunggu poliklinik rumah sakit sambil mendengarkan radio dari earphonenya..
I’ve been letting you down, down.
Girl I know I’ve been such a fool.
Giving into temptation.
I should’ve played it cool.
The situation got out of hand
I hope you understand
“Ah, lagu ini..” ujar Nisa lirih, kala Anyone of Us-nya Gareth Gates menyentuh gendang telinganya.
Angannya kembali ke masa lalu. Satu hari sebelum Juna pergi menghilang tanpa kabar.
*Flash back on*
“Boleh ya, Nis” Dana menatap Nisa dengan tatapan memohon sambil menangkupkan kedua tangan di depan dadanya.
“Lo gila, Dan!” seru Nisa. “Lo kan tau gue udah punya pacar, ya masa gue musti ciuman sama lo. Permintaan lo aneh banget, asli!” lanjut Nisa lagi heran.
Iya, baru saja Dana, lelaki yang sudah dianggap Nisa sebagai sahabatnya, salah satu teman lelaki Nisa yang masih dekat dengannya sejak SMP itu tiba tiba meminta Nisa untuk menciumnya. Bukan di pipi, tapi di bibir.
“Ya, anggep aja ciuman persahabatan. Kan gue mau kuliah di luar kota.” Ujar Dana masih dengan tatapan memohonnya.
“Hubungannya apa coba?” Nisa benar benar gak paham lagi jalan pikiran lelaki bermata sayu di hadapannya ini.
“I just want to kiss you, Nis.” ujar Dana lirih, namun masih tertangkap pendengaran Nisa. “Gue sayang sama lo, tapi gue juga bingung sayang ke elo sebagai sahabat, atau bukan.” lanjutnya sambil menatap Nisa dalam.
Nisa bergeming, otaknya masih berusaha mencerna ucapan sahabat lelakinya ini.
“Gue cuma mau mastiin perasaan gue”. Ujar Dana serius.
“Dengan nyium gue?” tanya Nisa ragu. Dan lelaki di hadapannya mengangguk.
“Kalo saat kita ciuman, gue gak ngerasain apa apa, ya berarti gue cuma sayang sebatas sahabat sama lo” lanjut Dana.
“Teori lo aneh, Dan” Ya, sahabatnya yang satu ini emang gak pernah bisa Nisa pahami jalan pikirannya.
“Boleh ya, Nis. Sekali aja. Sebentar aja.” Dana sedikit memaksa.
*Flashback Off*
…
“Nona Faranisa Maheswari”
Panggilan dari perawat tersebut menyadarkan Nisa dari lamunannya.
“Nona Faranisa Maheswari” Sekali lagi perawat di Poliklinik tersebut menyerukan namanya.
“Saya, Sus” Nisa pun berdiri dan menghampiri perawat tersebut. Yang kemudian membawanya ke salah satu ruangan dokter yang akan ditemui Nisa siang ini.
dr. Arjuna M. Dharmawan Sp.S (K). Nama yang tertera di depan pintu ruangan yang akan Nisa masuki. ‘Mirip namanya Juna.’ ujar Nisa dalam hati.
“Dok, ini pasien terakhir.” Ujar perawat berseragam biru tersebut sambil mempersilahkan Nisa masuk. Yang hanya dibalas anggukan dari dalam.
“Siang, dok” Nisa memasuki ruangan serba putih itu.
“Eh, loh!” ujarnya spontan saat melihat lelaki dari masa lalunya yang kini sedang duduk di hadapannya.
“Silahkan duduk, Nis.” Ujar lelaki tersebut.
“Aku gak salah masuk ruangan, kan?” tanya Nisa masih dengan keterkejutannya. Namun tetap menuruti perkataan Juna untuk duduk.
“Nope” jawab lelaki itu sambil memamerkan senyumnya.
“Oh, shit!” lirih Nisa. “Jadi dokter yang direkomendasiin itu kamu, Jun?” Nisa masih belum percaya sepenuhnya.
“Iya, akupun baru tahu tadi siang kalo pasien yang direffer konsul ke aku itu kamu. Another surprise ya, Nis.”
Nisa bergeming. Otaknya masih mencoba untuk memproses.
“So, gimana kondisi kamu sekarang?” Juna memecah keheningan di antara mereka. “Eh, ini kita santai aja gapapa ya, Nis?”
“Jadi kamu udah tahu penyakit aku sekarang?” Oke, Nisa masih belum selesai memproses semuanya.
“Iya, aku tahu penyakit kamu. Dan ya, aku pernah handle kasus serupa. Jadi aku akan bantu kamu untuk cari solusi dari penyakit kamu ini.” Ujar lelaki berkacamata ini. “Itu juga yang jadi alasan Bang Dyon, maksud aku Dokter Edo konsulin pasiennya ke aku, yang ternyata itu kamu.” lanjutnya lagi.
“Bang Dyon?” Tanya Nisa heran mendengar nama yang asing di telinganya.
“Dokter Edo, dokter yang selama ini periksa kamu itu adalah sepupu aku, Nis. Aku biasa panggilnya Bang Dyon. Dyonisius Edo Dharmawan.” Jawab Juna. “Dan dia secara khusus minta aku untuk handle kasus kamu ini.” lanjutnya lagi. ‘Karena kamu orang terpenting di hidupnya, Nis.” yang ini hanya terucap lirih dalam hati Juna.
“I see.” Nisa hanya mengangguk angguk tanda mengerti.
“Sebelum kita lanjut bahas kasus kamu, ada yang masih ingin kamu tanyain?” Juna menatap Nisa yang masih terlihat bingung.
“Atau kamu gak nyaman karena dokter yang dirujuk ternyata aku? Nanti biar aku omongin ke Dokter Edo.” tanya Juna lagi karena melihat Nisa yang masih bergeming.
“Eh, bukan begitu, Jun. Aku cuma masih memproses aja cara semesta mempertemukan kita lagi.” Ujar Nisa, “Kebetulan yang aneh, menurutku.” lanjutnya.
“A lot of surprise, ya.” imbuh Juna. Yang dibalas anggukan oleh gadis berhijab di hadapannya.
“Eng, tapi aku boleh tanya sesuatu gak, Nis?” Juna tak mampu lagi menahan rasa penasaran yang sejak tadi berputar di kepalanya.
“Tentang?” Nisa menatap lelaki berkacamata tersebut heran.
“Kalo boleh tahu, hubungan kamu dengan Dokter Edo selain sebagai pasien dan dokter, sepertinya kalian juga dekat.”Juna mengeluarkan rasa penasarannya.
“Kenapa nanya gitu?” yang malah menimbulkan pertanyaan baru dari Nisa.
“Karena Bang Dyon bilang kamu salah satu orang terpenting di hidupnya.” tersirat nada cemburu dalam ucapan Juna, yang entah disadari atau tidak oleh Nisa.
“Dokter Edo ngomong gitu sama lo?” Nisa tergelak mendengar jawaban Juna. “Mau aja lo dikerjain Bang Edo.” lanjutnya lagi, yang membuat Juna semakin bingung dengan reaksi Nisa yang terlihat santai dalam menyebut kakak sepupunya itu.
“Eh, tapi gak salah juga sih kalo gue jadi salah satu orang terpenting di hidupnya Bang Edo.” ucap Nisa sambil tersenyum. Juna masih menatap Nisa dengan heran.
Yang ditatap hanya tertawa kecil melihat keheranan lelaki berlesung pipit itu.
“Bang Edo itu tunangannya Kak Mitha, kakak gue satu satunya. Dan emang kak Mitha segitu sayangnya sama gue, apalagi pas tahu penyakit gue ini.” jelas Nisa yang kemudian berubah sendu lagi saat membahas penyakitnya. Secepat itu emosinya berubah ketika teringat tujuan utamanya datang ke sini.
“Oalah… Calon kakak ipar ternyata” berbanding terbalik dengan Nisa, Juna justru tersenyum bahagia. Tak bisa ia sembunyikan lagi rasa lega saat mendengar penjelasan gadis berhijab di hadapannya ini.
“Seneng banget kayaknya, Jun” ujar Nisa saat melihat Juna yang tak berhenti tersenyum sambil memamerkan lesung pipitnya itu. Keindahan yang sudah lama tidak Nisa lihat.
“Seneng, lah. Karena setidaknya aku gak harus besaing dengan kakak sepupuku sendiri.” Ujar Juna lirih, namun masih tertangkap pendengaran Nisa.
“Jadi sebelumnya lo nebak gue pacarnya Bang Edo gitu, ya?” tanya Nisa dengan santainya, yang dibalas anggukkan oleh Juna. Nisa pun tergelak lagi melihat reaksi lelaki di hadapannya ini.
Melihat Nisa bisa tertawa lepas seperti ini, membuat Juna semakin jatuh hati untuk kesekian kalinya dengan perempuan yang akan menjadi pasiennya ini. Seketika Juna tersadar.
“Nis…” Panggilan Juna tersebut membuat Nisa terdiam sejenak. Dialihkannya lensa berwarna kecokelatan itu menatap lelaki berkacamata di hadapannya ini.
“Pertama. Sebagai lelaki, jujur aku emang lega banget pas tahu kalo kamu gak ada hubungan spesial dengan Bang Dyon. And I feel like, aku masih punya kesempatan buat deketin kamu lagi.” ucap Juna langsung pada intinya, yang tanpa sadar menghadirkan semburat merah di kedua pipi Nisa.
“Yang kedua…” ada jeda di saat lelaki itu membenarkan letak kacamatanya sebelum melanjutkan, “Sebagai dokter, aku akan bersikap profesional dan aku akan fokus cari solusi perawatan terbaik untuk penyakit kamu ini.” tambahnya lagi. “So, aku harap kamu bisa kooperatif selama prosesnya nanti.” suasana yang sudah mencair, kembali kaku lagi.
“Kamu yakin aku bisa sembuh, Jun?” Nisa mempertanyakan penjelasan Juna barusan. Yang ia perhatikan, lelaki dari masa lalunya ini masih bergeming.
“I’ll try my best, Nis.” Jawab Juna mencoba untuk meyakinkan pujaan hatinya tersebut. “Namun, mungkin prosesnya nanti gak bisa dibilang mudah juga ya, Nis.” lanjut Juna lagi.
Kemudian lelaki yang memiliki rahang tegas ini menjelaskan rencana terapi yang sudah dia siapkan untuk Nisa. Siluet yang semakin terlihat tegas kala lelaki itu dalam mode serius semakin terpampang nyata di hadapan Nisa.
Hingga…
“Can I ask something?” Nisa menginterupsi lelaki berlesung pipit di hadapannya yang langsung menatapnya sambil berkata…
“About?”
“Untuk terapinya, kira kira bisa ditunda dulu gak ya, Jun?” Ada ragu yang tersirat.
“Boleh aku tanya kenapa?” Tatapan heran yang Nisa lihat kini.
“As you know, Ken dan Lala akan nikah less than three month from now. And both of us, terutama gue bakal sibuk banget dampingin Lala as her bridesmaid.” Nisa menjeda sesaat untuk menarik napasnya agak dalam. Ada rasa tak nyaman yang seketika muncul di area leher belakangnya.
“And honestly, she doesn’t know about all of this” lanjutnya. “Penyakit gue ini, baru keluarga dan dokter yang periksa gue, include you, now, yang tahu.” Nisa menundukkan kepalanya sesaat. Semakin tidak nyaman rasanya.
“Nis, are you okay?” Ada nada khawatir di sana. “Seberapa sering sakitnya muncul belakangan ini?” Lanjutnya lagi.
“Gue mau nemenin Lala, at least sampai hari bahagianya, Jun. Can I?” Pinta Nisa, tak menjawab pertanyaan Juna.
It can happen to anyone of us
Anyone you think of
Anyone can fall
Anyone can hurt someone they love
Hearts will break
‘Cause I made a stupid mistakes
“Jawab dulu pertanyaanku. Seberapa sering sakitnya muncul belakangan ini?” Tanya Juna lagi. Gadis di hadapannya menunduk lagi.
“Nis…”
“Gak terlalu sering, sih.” lirih terucap. “Minggu ini pun kayaknya baru semalam dan tadi pagi.” Lanjutnya.
“Dan sekarang juga, kan?” Sahut Juna yang kemudian bangkit dari kursinya. Dihampirinya gadis berhijab hijau mint yang masih tertunduk, menempelkan keningnya pada meja, lebih tepatnya.
“Eh, Jun..” Ada tangan yang menyentuh tengkuknya.
“Sorry, I just wanna know. Di sini sakitnya?” Yang dibalas anggukan oleh Nisa.
“Sama di sini.” Nisa menunjuk area kepalanya bagian depan.
“Dari satu sampai sepuluh, di skala berapa kira kira sakitnya?” Nisa bergeming. Namun tangan kanannya terangkat dan menunjukkan ibu jari dan telunjuknya yang terbuka, sedangkan jari lainnya tetap menekuk. Skala 7.
Yang Juna lepaskan kedua tangannya dari kepala yang terhalang hijab itu dan kembali ke kursinya. Menuliskan sesuatu di rekam medis Nisa yang masih terbuka di mejanya. Terdiam sejenak.
“Gini, deh.” Juna membolak balik rekam medis yang sejak tadi dipegangnya itu. Mencari sesuatu. “Kita lakukan pemeriksaan lagi. MRI ulang, maksud aku. Karena yang aku lihat di sini, terakhir kamu pemeriksaan lengkap dengan Dokter Edo sekitar dua bulan lalu.” Hening memenuhi ruangan berwarna putih itu.
“Setelah itu baru aku bisa menjawab permintaan kamu tadi” Juna menyerahkan kertas rujukan untuk pemeriksaan ulang pada Nisa.
Gadis berhijab hijau mint tersebut hanya mengangguk tanda mengerti. Kemudian membaca tulisan yang tertera di kertas rujukan yang diberikan Juna tersebut.
Anaplastic Astrocytoma (Grade III), tertulis di sana. Kembali terngiang ucapan calon kakak Iparnya, Dokter Edo, yang saat itu menjelaskan mengenai salah satu jenis Tumor otak yang terbilang cukup langka ini. Hal yang membuat tak hanya Nisa, tapi juga Mitha, satu satunya kakak perempuan Nisa, bagai disambar petir kala itu.
*flashback on*
“Anaplastic Astrocytoma ini salah satu jenis tumor otak langka dan agak ganas, Nis. Tapi prognosisnya lebih bagus beberapa tahun ini. Meskipun hasilnya memang berbeda pada tiap orang, ya. Tergantung usia, daya tahan tubuh dan semangatnya juga.” Dokter Edo menjelaskan sekaligus meyakinkan Nisa agar tidak patah semangat.
“Ini aku akan merujuk kamu ke salah satu dokter syaraf terbaik yang aku kenal, dan aku tau dia pernah nanganin kasus serupa. Kita akan cari solusi terbaik untuk kamu, Nis.” lanjutnya lagi.
Nisa yang saat itu datang bersama sang Kakak hanya bisa terpaku dalam pelukan kak Mitha yang seakan ingin mengatakan, ‘Gak papa, ada kakak di sini.’
*flashback off*
“Nis, kondisi kepala kamu sekarang gimana? Masih sakit?” Tanya Juna karena melihat Nisa yang masih menunduk.
“Better, now. Oh iya, ini aku udah selesaikan, berarti?” Netranya menatap lelaki berkacamata di hadapannya.
“Sudah.” Jawab Juna sambil memamerkan lesung di kedua sisi wajahnya. “Obat yang dari Dokter Edo masih ada, kan? Sementara kamu masih bisa lanjutin terapi obatnya, ya. Sampai kita tahu hasil pemeriksaan terbaru nanti.” Lanjutnya lagi.
“Kalo bisa, besok datangnya pagi ya, Nis. Nama kamu udah aku daftarin untuk jadwal MRI besok. Setelah hasilnya keluar, baru kita diskusikan lagi untuk terapinya, ya.” Tambah Juna, lembut. Yang lagi lagi hanya dijawab anggukkan oleh Nisa.
“Yaudah, aku pamit kalo gitu. Thanks ya, Jun” Nisa memasukkan surat rujukan ke dalam tasnya dan hendak berdiri, ketika…
“By the way, kamu ke sini sama siapa?” Pertanyaan Juna menghentikan gerakannya.
“Sendiri.” jawabnya singkat. “Naik taksi tadi ke sininya.” Lanjutnya lagi seakan tahu ke mana arah pertanyaan lelaki dari masa lalunya tersebut.
“Aku anter kamu pulang, ya.”
“Tapi…”
“Kamu pasien terakhir aku, kok. Dan setelah ini pun aku gada rencana lagi. Sekalian ada yang mau aku bahas juga sama kamu. About us.” Lanjut Juna lagi.
Nisa paham apa yang Juna maksud. Ya, ia pun harus menyelesaikan kisah masa lalunya dengan Juna sebelum memulai terapi dengan lelaki tersebut.
“Oke. Aku urus administrasi dulu kalo gitu.” Ujar Nisa.
“Sip. Aku beberes sebentar. Nanti ketemu di bawah, ya” rona bahagia terlihat di wajah tegas Juna.
It can happen to anyone of us
Say you will forgive me
Anyone can fail
Say you will believe me
I can’t take, my heart will break
Cause I made a stupid mistake.
Nisa melangkah keluar dari ruangan Juna, menuju perawat yang menyerahkan berkas administrasi yang harus diurus di loket kasir.
Setelah menyerahkan berkas tersebut di loket kasir, Nisa kembali duduk di kursi tunggu yang berada tak jauh dari situ. Di keluarkannya lagi surat rujukan untuk MRI besok.
“Should I tell her?” ucap Nisa lirih yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri. Kemudian membayangkan bagaimana reaksi sahabatnya tersebut jika Nisa memberitahu kondisi kesehatannya kini.
“Gak usah deh, yang ada ntar malah nambah pikiran dia” lanjutnya bermonolog sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“In my opinion, you should tell her, Nis.” Ditolehkan kepalanya ke sumber suara yang berada di sisi kanannya. “Aku yakin dia pasti ngertiin kamu.” lanjut suara itu lagi sambil memamerkan kedua lesung di pipinya. Entah sejak kapan Juna sudah duduk di sampingnya, tanpa Nisa sadari.
Gadis berhijab hijau mint tersebut kemudian menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk memenuhi rongga paru-parunya, lalu dihembuskan perlahan sambil kembali menatap kertas rujukan di tangannya. Hingga…
“Atas nama Nona Faranisa Maheswari” Nisa menaikkan netranya ke arah loket kasir yang menyerukan namanya, kemudian bangkit meninggalkan Juna seraya berkata “Bentar ya, Jun”
***
~~~To be Continue~~~
Kira-kira Nisa akan kasih tau ke sahabatnya gak, ya?
Leave a Reply