
Amara menatap nanar pada layar monitor yang letaknya tepat di atas pintu kayu di hadapannya itu. Tertera namanya pun nama lelaki yang duduk di sampingnya kini, dalam antrian berikutnya untuk masuk ke ruang hijau itu.
Lelaki itu, Ayah dari putra semata wayangnya, suaminya… ah, masih pantaskah Amara menyebutnya suami, di saat kini ia sedang menanti putusan hakim di dalam sana.
***
*3 tahun kemudian*
Kau bisa merebut senyumku
Tapi sungguh tak akan lama
Kau bisa merobek hatiku
Tapi aku tahu obatnya
Suara merdu Tulus memenuhi kabin city car yang dikendarai Amara siang ini.
“Manusia-manusia kuat, itu kita… Jiwa-jiwa yang kuat, itu kita…” Wanita berambut sebahu tersebut ikut bersenandung juga akhirnya.
“Penuh penghayatan banget nyanyinya, Neng?” Ledek Nisrina, sahabatnya, yang menemaninya siang ini.
“Lo tau sendiri dulu gue seancur apa, kan…” sahut Amara sambil memperlambat laju city car-nya. Lampu lalu lintas menyala merah di depan sana. “Ya, meskipun sekarang masih belom bisa dibilang oke juga, sih,” lanjutnya lagi.
“Tapi setidaknya lo udah gak kayak Zombie, lah, Ra. Cakepan dikit.” Ucap gadis berhijab di sampingnya itu sambil mengangkat tangannya dengan ibu jari dan jari telunjuk terulur sejajar, sedang jari lainnya dilipat.
“Yee… Resek, lo. Banyakan dong cakepnya. Haha.” Diliriknya gadis berjibab tersebut sejenak. “Kalo inget masa-masa itu, jujur gue gak percaya bisa ada di masa sekarang. Yang bisa ketawa-tawa bahagia, macam tak ada beban aja. Hehe,” lanjutnya lagi.
“Udah bisa ngetawain masa lalu pula kan, Ra?”
“Haha… Iya banget.”
Amara kemudian melajukan mobilnya saat lampu lalu lintas berwarna hijau.
Kau bisa hitamkan putihku
Kau takkan gelapkan apapun
Kau bisa runtuhkan jalanku
Kan ku temukan jalan yang lain
“Dari awal gue kenal sama lo, gue tau banget lo itu kuat. Kasarnya nih, gak segampang itu, lah, buat bikin lo hancur gak berdaya. Karena gimanapun caranya, lo selalu bisa bangkit lagi. Kayak sekarang.” Nisrina mengalihkan netranya pada sahabatnya yang sedang fokus menyetir tersebut.
“Terlihatnya begitu ya, Nis? Padahal aslinya… Gue gak sekuat itu.” Ucap Amara, lirih. “Gue malah pernah terlintas buat suicide. If you want to know.” Terlihat bibirnya menyeringai.
“Untungnya hanya terlintas kan, Ra? Gak sampe beneran lu lakuin,” sahut Nisrina. Yang hanya dijawab dengan anggukkan oleh Amara.
“Makanya gue bersyukur banget. Salah satunya karena gue punya lo, one of my support system yang gak pernah absen care sama gue. Meski udah gue cuekin juga. Hehe.” Amara menoleh sejenak ke sahabatnya, “Thank you.”
—END—
Leave a Reply