
NOTE: Chapter 2. Lanjutan dari cerita Nisa – Juna
Bisa baca Chapter 1nya di sini, yaa –> IT’S (NOT) REALLY OVER
————————————————————————————————————————–
Setelah selesai memesan minuman di counter pemesanan dan membayarnya, Nisa dan Juna kini sudah duduk berhadapan di meja yang dekat dengan jendela, dan memang hanya diperuntukkan bagi 2 pengunjung saja. Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua yang sedang menunggu pesanan mereka datang.
Senyummu…
Tak lagi menggetar rongga hatiku…
Hanyut dibawa luapan emosi…
Mencabik, mengikis dinding jiwaku…
“Nis…”
“Jun…” ujar mereka berbarengan.
“Kamu duluan aja” Juna mempersilahkan Nisa bicara lebih dulu.
“Eng, gak jadi deh” Nisa urung mengungkapkan pikirannya dan kembali terdiam, tenggelam dalam benaknya yang masih penuh dengan Juna.
Begitupun Juna. Kembali terdiam.
Yang kuinginkan…
Kau tetap ada di setiap mimpiku…
Bayang wajahmu melukis senyumku…
Candamu menghempas kebimbanganku…
Alunan merdu suara Segara yang menggema di Cafe tempat mereka berada kini seakan mendukung Juna untuk tetap terdiam. Berbagai kenangan masa lalu seakan berlomba lomba memutar kembali video lama yang selama ini terkubur rapat dalam bagasinya. Tentu saja kenangan tersebut membuat jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya, ditambah sosok masa lalu yang beberapa bulan ini kembali menghiasi mimpinya kini sedang duduk terdiam di kursi di hadapannya itu. Sesekali Juna melirik gadis berhijab itu. Tidak banyak perubahan pada cinta pertamanya itu, selain hijab yang kini menutupi area kepalanya. Selebihnya, dia tetap seperti Nisa yang dulu ia kenal.
“Ini pesanannya, Kak” kedatangan waitress mengembalikan mereka berdua ke alam nyata.
Setelah menyeruput Latte di hadapannya, Juna memberanikan diri untuk memulai.
“I miss you, Nis” lirih terucap.
“Juna…”
“I know it’s been years, but I really miss you. Gak pernah sekalipun aku ngelupain kamu.” Lanjut Juna lagi sambil menatap Nisa.
“Kenapa kamu menghilang?” Sontak Nisa menanyakan satu hal yang selalu berkeliaran di kepalanya selama ini. “Belasan tahun kamu menghilang kayak ditelan bumi, gak ada kabarnya sama sekali. Dan sekarang kamu tiba tiba muncul then you said you missed me?” lanjut Nisa lagi heran.
Mungkin terkejut, lebih tepatnya, yang Nisa rasakan. Setelah hampir 17 tahun lelaki berahang tegas di hadapannya ini menghilang tanpa kabar berita, yang menimbulkan banyak tanya, juga penyesalan, di benak Nisa, kini dengan santainya dia muncul dan bilang tak pernah melupakannya.
“It’s a long story, Nis.” Jawab Juna lirih, namun masih terdengar oleh Nisa. “Aku akan jelasin, tapi gak sekarang.” lanjutnya lagi.
Nisa masih bergeming, menatap lekat Juna. Sebenarnya masih banyak yang ingin ia utarakan saat ini. Semuanya berebut ingin diungkapkan, hingga membuat area kepala belakang dan tengkuk Nisa berat. Mencoba tetap tenang, sambil mengambil sebanyak mungkin udara yang bisa ia hirup, agar otaknya mendapatkan cukup asupan oksigen untuk meredakan sakitnya. Seperti yang pernah dijelaskan oleh dokternya dalam meredakan sakit yang mungkin saja akan muncul secara tiba tiba.
“Kamu gak papa, Nis?” tanya Juna khawatir karena melihat gelagat aneh pada gadis di hadapannya.
“I’m fine, Jun” sahut Nisa berusaha terlihat baik baik saja. Padahal di kepalanya saat ini seakan ada bongkahan batu besar yang menekannya. Sangat berat.
“Are you sure?” Juna memastikan sekali lagi. Entah kenapa ia merasa ada yang aneh dengan Nisa.
“Kecapekan aja kayaknya, deh. Jadi agak pening kepala gue.” Jawab Nisa mencoba santai lagi sambil memegang tengkuknya dan menggerakan kepalanya ke kanan dan kiri. “Abis stretching mungkin bisa agak enakan.” Lanjutnya lagi. Masih menggerakkan kepalanya, kali ini ke arah samping mendekati bahu kirinya, bergantian ke arah bahu kanannya. Hal yang memang biasa dilakukan jika area bahu dan lehernya terasa kaku.
“Gue dari pagi jadi sopirnya Lala soalnya. Hehe.” Tambah Nisa, berharap Lelaki dari masa lalunya itu percaya kalau ia hanya sekedar lelah dan tidak bertanya lebih lanjut.
“Yaudah, kita pulang aja kalo gitu. Biar kamu bisa istirahat.” Ucap Juna, sambil mengangkat tangannya mencari pelayan untuk meminta bill mereka.
Nisa hanya bisa menurut, karena kepalanya kali ini benar benar tidak bisa diajak kerja sama.
Setelah selesai membayar, mereka pun beranjak keluar menuju mobil Nisa yang diparkir di depan Cafe.
Bolehkah aku jalani lagi bersamamu?…
Aku tak mampu dan tak ingin…
Melewati semua ini tanpamu…
Ingatlah kini semua telah menjadi satu…
Aku dan kamu takkan mungkin berpisah…
Tak mungkin…
Tak ingin…
Tak akan bisa…
Melepas kau, Senja…
***
Nisa terbangun dari tidurnya dengan kondisi kepalanya yang terasa agak berat. Yang ia ingat, sejak Arjuna mengantarnya selamat sampai rumah semalam hingga lelaki dari masa lalunya itu pamit pulang, kepalanya semakin bertambah sakit.
Meskipun sudah meminum obat yang diberikan dokternya, rasa sakitnya tidak juga berkurang. Hingga akhirnya dia tertidur sambil menahan rasa sakitnya.
drrtttdrtttt…
Perlahan Nisa bangkit dan mengulurkan tangannya ke arah nakas di samping ranjang, hendak mengambil ponselnya yang tadi bergetar.
Dilihatnya banyak notifikasi panggilan tak terjawab dan juga chat dari sahabatnya Lala dan juga ada satu nomor asing yang tidak ia kenal.
+628123987xxx
(Nis, gimana kepalanya masih sakit?)
(Oh iya, ini aku, Arjuna)
(Aku nanya nomer kamu sama Ken. Awalnya dia gak mau kasih tau sih, tp aku paksa. 🙂 )
(Nis, Are you Ok?)
Nisa bergeming membaca deretan chat yang dikirimkan lelaki dari masa lalunya itu. Ada bimbang yang datang kini.
Di satu sisi, harusnya dia senang karena salah satu doanya untuk bisa bertemu dengan Arjuna secepatnya lagi, terkabulkan. Tapi di sisi lain, terutama setelah melihat sikap lelaki berlesung pipit itu semalam malah membuatnya takut dan sedih.
Drrtrrdrttt…
Nisa tersentak dari lamunannya karena ponselnya yang kembali bergetar. Kali ini lebih lama. Di layar ponselnya sudah menampilkan panggilan dari nomor asing, nomor yang sama dengan si pengirim pesan yang barusan ia baca.
Arjuna…
“Halo” Nisa akhirnya mengangkat teleponnya.
“Hai, gimana kabar kamu?” Sahut suara berat di seberang sana, setelah sebelumnya memberikan salam.
“Feel better” jawab Nisa. Ya, kepalanya memang sudah tidak terasa sakit seperti semalam.
“Sorry ya kalo aku ganggu kamu pagi pagi. Aku … khawatir” ujar suara di seberang terbata.
Hening seketika menghampiri mereka.
“Ya ampun, gak perlu sekhawatir itu juga, Jun. Gue cuma sakit kepala biasa kok semalem. Abis minum obat semalem langsung tidur pules” ujar Nisa dibuat seceria mungkin.
“Thanks God kalo sekarang udah mendingan” sahut suara di seberang terdengar lega. “Aku cuma mau denger kabar kamu aja.” Lanjut Juna, yang kali ini berhasil membuat kepala bagian belakang Nisa berdenyut lagi.
Kembali hening. Otak Nisa mencoba mencerna setiap kata yang diucapkan Juna barusan. Memastikan kalau pendengarannya tak salah menangkap setiap kata yang diucapkan lelaki di seberang sana.
Seorang Arjuna, yang sebelumnya menghilang begitu saja tanpa pernah memberikan kesempatan untuk Nisa menjelaskan tentang kejadian saat itu. Lelaki yang belakangan ini tiba tiba muncul dalam bunga tidurnya tanpa permisi. Lelaki yang sama yang dengan yang saat ini sedang berbicara di telepon.
Nisa memijat kembali kepala belakangnya yang masih berdenyut sambil memejamkan kedua matanya. Berharap bisa mengurangi nyeri yang dirasakannya saat ini. Direbahkannya lagi badannya pada ranjang.
“Nis, kamu masih di situ, kan?” tanya suara di seberang lagi, karena Nisa belum merespon sejak tadi.
“Jun…” hanya itu yang keluar dari mulut Nisa. Matanya masih terpejam sambil menahan sakit di kepalanya yang tak kunjung hilang, malah bertambah hebat. “Maafin aku..” lirih terucap. Kemudian menjauhkan teleponnya.
***
“Nis, are you okey?” ada nada khawatir dari Juna karena tidak mendapatkan respon dari Nisa di seberang sana, sebelum akhirnya panggilan teleponnya berakhir. Juna menatap nanar ponsel yang kini hanya menampilkan nama gadisnya yang kini mengenakan hijab itu.
Faranisa Maheswari, gadis yang menjadi cinta pertamanya bahkan mungkin satu satunya yang berhasil mengisi relung hatinya sejak masa sekolah dulu, gadis yang juga kembali hadir di mimpinya beberapa bulan ini. Gadis ini juga yang menjadi salah satu alasannya untuk kembali ke Indonesia secepatnya dan menyetujui permintaan sahabatnya, Ken untuk menjadi bestmannya. Yang tanpa disadarinya bahwa keputusannya itu akhirnya justru mempertemukan kembali dirinya dengan Nisa, gadis yang dia tinggalkan belasan tahun silam. Seakan semesta mendukungnya untuk kembali bersatu dengan gadisnya.
Sejak Arjuna bertemu kembali dengan gadis dari masa lalunya itu kemarin, jantungnya kembali berulah, selalu berdegup lebih kencang setiap berada di dekat gadis yang makin terlihat cantik dengan hijabnya itu. Sama seperti dulu, hanya gadis itu yang berhasil memporak porandakan hatinya. Pikirannya pun kini mulai didominasi oleh Nisa. Segala kenangan tentangnya kembali berputar dalam benak seorang Arjuna Mahardika.
Perasaannya juga ikut campur aduk setelah melihat bahkan bisa berbincang kembali dengan kekasih hatinya itu walau hanya sebentar. Ada bahagia yang hadir melihat gadisnya baik baik saja, meskipun ada juga perih saat mendapatkan sikap Nisa yang terlihat santai namun tidak dengan matanya yang menampilkan kesedihan di sana. Setidaknya itu yang dia tangkap saat menatap Nisa semalam. Ditambah dengan sikap gadis itu yang seakan menutupi sesuatu darinya.
“What do you expect, Juna?” ujarnya bermonolog. “Enam belas tahun lo ninggalin dia gitu aja. Wajarlah kalo dia bersikap gitu ke elo.” lanjutnya, masih berbicara dengan dirinya sendiri. “Tapi gue gak boleh kehilangan dia lagi. Gue gak mau kayak dulu lagi, yang dengan bodohnya ngelepasin Nisa gitu aja.” masih bermonolog.
Selain memaksa Ken untuk memberikan nomer Nisa, Juna juga sempat memberondong sahabatnya itu dengan berbagai pertanyaan tentang Nisa. Meskipun tidak banyak informasi yang dia dapat, setidaknya Juna tahu bahwa gadisnya itu belum terikat dengan siapapun, yang membuatnya yakin bahwa masih ada harapan untuk mendapatkan gadisnya kembali.
“Aku gak bisa lepasin kamu kayak dulu lagi, Nis” ujarnya lirih sambil memandang foto Nisa yang diam diam dia ambil semalam saat di cafe.
tok..tok..
Ketukan seseorang di pintu menyadarkan Juna bahwa kini ia sedang berada di tempat kerja.
“Permisi, dok” ujar seorang wanita paruh baya yang mengenakan seragam perawat di balik pintu yang baru saja terbuka setelah Juna mempersilahkannya untuk masuk. “Pasiennya sudah datang, dok.” lanjut perawat itu lagi sambil berjalan menghampiri Juna kemudian meletakkan tumpukan berkas rekam medis pasien di mejanya.
“Terima kasih, Sus.” ujarnya sambil tersenyum.
“Oh iya, dok. Ini rekam medis pasien yang rujukan dari dokter Edo. Rencananya siang ini beliau mau konsul” ucap perawat bernama Lina itu lagi.
Setelah menerima rekam medis tersebut, Juna bergeming. Berharap ia salah membaca nama yang tertulis di sana.
Faranisa Maheswari. Jantungnya kembali berulah setelah membaca nama yang mirip dengan kekasih hatinya itu. Iya, lelaki tersebut membenarkan posisi kacamatanya, membaca sekali lagi data pasien tersebut. Berharap hanya namanya saja yang sama, ada banyak kemungkinan beberapa orang memiliki nama yang sama di dunia ini. Tapi tidak dengan data pribadinya yang semakin membuat Juna tak bisa berpikir jernih seketika. Ini bukan kebetulan yang diharapkannya.
“Sebentar, suster. Saya minta waktu 15 menit, ya.” Suster Lina yang sudah berada diambang pintu membalikkan badannya dan mengangguk memahami maksud ucapan Juna kemudian kembali keluar dari ruangan itu.
Setelah suster Lina menutup pintu ruangannya, Juna langsung mengambil ponselnya yang tadi ia masukkan ke dalam laci meja kerjanya. Menghubungi salah satu kakak Sepupunya yang juga berprofesi sebagai dokter itu.
“Bang Dyon, gue mau nanya pasien yang lo bilang kemaren?” berondong Juna tanpa basa basi ketika terdengar suara orang di seberang sana.
“Orang tuh kalo nelepon kasih salam dulu, gitu. Bukan langsung ngasih pertanyaan” ujar suara berat di sana. Dokter Dyonisius Edo Dharmawan, atau yang lebih dikenal dengan nama dokter Edo tapi Juna lebih suka memanggilnya Bang Dyon sejak kecil ini adalah salah satu sepupu Juna yang memang juga memintanya untuk pulang ke Indonesia perihal pasiennya ini.
“Sorry Sorry. Gue cuma punya waktu lima belas menit sebelum mulai praktek, soalnya.” Jawab Juna asal.
“Kenapa sama pasien gue?” tanya Edo lagi.
“Ini lo gak salah diagnosis kan, bang?” tanya Juna ragu.
“Justru gue mau memastikan diagnosis gue, makanya gue rujuk ke elo, Ar. Karena gue tau lo pernah pegang kasus yang serupa. Dan juga yang terbaik di bidang Syaraf.” ujar Edo yang masih saja memanggilnya dengan nama Ar. “Selain gue tentunya.” tambahnya lagi sambil terkekeh.
“Dih, dia jumawa.” Juna mencebik kesal.
“Serius, Ar. Gue mau lo handle pasien gue yang ini. Kalo diagnosa gue bener, berarti emang di luar kapasitas gue buat handle juga. Cuma lo yang gue percaya bisa.” ujar Edo. “Dia salah satu orang terpenting di hidup gue, Ar kalo lo lupa.” lanjut Edo lirih.
Juna kembali membeku. Dia memang tahu bahwa beberapa kali kakak sepupunya ini selalu mengingatkan bahwa pasien yang dirujuk ke Juna ini salah satu orang terpenting di hidup Kakaknya itu. Meskipun Edo tidak pernah menjelaskan detail sepenting apakah gadisnya bagi kakak Sepupunya itu.
“Yaudah, tolongin gue ya. Gue cuma mau yang terbaik buat dia.” ujar Edo kemudian mengakhiri pembicaraan mereka.
Aku gak harus bersaing dengan kakak sepupuku sendiri kan, Nis?
***
~~~To be continue~~~
Nisa sakit apa ya, gaes? Ada hubungan apa Nisa dengan Bang Dyon?
Next: Chapter 3. Anyone Of Us (Stupid Mistake)
Haduh, ini cinta segi segi ya. Nanti si Nisa milih siapa? Jadi penasaran. Tag aku ya kak di grup influencer wanita, kalau udah update lanjutannya.
monggo cek postingan berikutnya aja kakk .. hehe
jadi penasaran banget sama kelanjutannya mbak btw salut sih suka sama gaya penulisannya juga
mamacihhh
Sudah lama sekali tidak baca vovel, padahal dulu kuka sekali, bahkan setiap hari
cuss baca lagi, kak
Aku menikmati nih ceritanya, jd gak sabaran mau lanjut ke chapter berikutnya
terima kasihhh
Wah, bikin penasaran ceritanya! Ga sabar nunggu kelanjutan ceritanya nih
syudah adaaaa
Hmm.. apa ya hubungan Nisa.. Next Chapter ah
hayoo apa hubungannya…